Peluang BISNIS ONLINE

Kamis, 29 Maret 2012

GOOD CORPORATE GOVERNANCE SEBAGAI PILAR IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

Oleh: DIAH FEBRIYANTI -2010
ABSTRAKSI
Penelitian ini adalah sebuah penelitian studi kasus yang dilakukan di sebuah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang perbankan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara penerapan prinsip tata kelola perusahaan (GCG) terhadap pelaksanaan praktik tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) serta motif-motif dibalik praktik dan pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan. Pada Prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) didalamnya terdapat prinsip responsibilitas yang diimplementasikan dalam bentuk pelaksanaan program CSR. CSR adalah praktik bisnis yang di dasari oleh nilai-nilai etika, memberikan perhatian kepada seluruh stakeholdernya serta masyarakat luas.
Penelitian ini dibangun pada keyakinan bahwa dengan diterapkannya GCG pada suatu perusahaan maka perusahaan tersebut memiliki pengelolaan yang baik salah satu bentuk dari tata kelola yang baik adalah pelaksanaan praktik CSR yang merupakan bentuk tanggung jawab bisnis yang berorientasi untuk memenuhi harapan masyarakat terhadap keberadaan usaha untuk mendapatkan legitimasi publik.
Pertanyaan penelitian utama dari studi ini adalah bagaimana perusahaan melakukan penerapan prinsip GCG terutama prinsip responsibilitas serta bagaimana implementasinya terhadap praktik CSR dan bagaimana perusahaan melakukan pengungkapan CSR serta motif apa saja dibalik pengungkapan CSR tersebut. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan analisis dokumen-dokumen perusahaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan triangulasi dan interpretasi.
Hasil penelitian ini menunjukan adanya peranan penting antara penerapan GCG dengan pelaksanaan praktik CSR, dimana dengan penerapan prinsip GCG maka implementasinya terhadap pelaksanaan program CSR menjadi terarah dan lebih terfokus terhadap program CSR yang dibutuhkan oleh masyarakat luas lebih terstruktur dan mengalami perbaikan menjadi lebih baik dari tahun ke tahun. Selain itu Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa motivasi perusahaan dalam melakukan praktek CSR dan berbagai pengungkapan adalah untuk melaksanakan prinsip good corporate governance secara utuh, memenuhi harapan stakeholder, mendapatkan legitimasi, dan memenangkan penghargaan tertentu. Praktik CSR didasarkan pada visi perusahaan, misi, budaya dan kode etik CSR.
Kata kunci : tata kelola perusahaan yang baik (GCG), tanggungjawab sosial perusahaan (CSR), pengungkapan CSR , legitimasi, stakeholder, penghargaan.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Isu tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) sudah lama muncul di berbagai negara, hal ini terlihat dari praktik pengungkapan corporate social responsibility (CSR), yang mengacu pada aspek lingkungan dan sosial, yang semakin meningkat. Bahkan berbagai hasil studi telah dilakukan di berbagai negara dan dimuat di berbagai jurnal internasional (Ghozali dan Chariri, 2007). Namun di Indonesia CSR baru-baru saja menjadi perhatian di berbagai kalangan baik perusahaan, pemerintah dan akademisi.
Pemerintah Indonesia memberikan respon yang baik terhadap pelaksanaan CSR dengan menganjurkan praktik tanggungjawab sosial (social responsibility) sebagaimana dimuat dalam Undang-undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Bab IV pasal; 66 ayat 2b dan Bab V pasal 74. Kedua pasal tersebut
menjelaskan bahwa laporan tahunan perusahaan harus mencerminkan tanggungjawab sosial, bahkan perusahaan yang kegiatan usahanya dibidang dan / atau berkaitan sumber daya alam harus melaksanakan.. . . (baca_selengkapnya )

Selasa, 27 Maret 2012

Corporate Social Responsibility: Envisioning its Social Implications

By : GĂ©rard Fonteneau
Published on : TJSGA/TLWNSI ESSAY/CORPORATE SOCIAL RESPEONSIBILITY (E002) OCTOBER03/

From time to time TJSGA will issue essays on topics relevant to The Living Wages North and
South Initiative (TLWNSI). This is a working paper offering a critique of CSR from the perspective of democratic societies and the future of its institutions, especially with regards to the potential impact of CSR on all sectors of civil society and, in particular, on the trade unions and its practices.

Introduction

For some time now, corporate social responsibility has become a must. Public institutions (European Union, United Nations, even the ILO), the business world, employers, civil society organisations – at least some of them – seem to be at one in the conviction that “corporate social responsibility” is an essential element of present and future social policies, in all the continents and all the sectors. It has to be pointed out that this strategy is developing at a moment the multinational economic and financial groups, indeed the global market economy itself, are going through a serious internal crisis; witness the many socially and ethically “irresponsible” practices: fraudulent bankruptcies, questionable purchases, cheatings in the accounts, very high manager salaries, disrespect for basic values, deregulation, disconnection between financial and economic activities. Instead of laws, international conventions,
collective agreements, they sing the praises of codes of conduct . . . . . . . . (baca_selengkapnya )

Corporate Social Responsibility in Indonesia : Quixotic Dream or Confident Expectation?

by : Melody Kemp
Published on : Technology, Business and Society Programme Paper Number 6 December 2001
Summary
During the past decade there has emerged, in North America and Western Europe in particular, a fairly powerful movement to improve the social and environmental performance of large corporations and their affiliates and suppliers in developing countries. By examining the case of Indonesia, this paper looks at how effective this approach has been. Two central questions are addressed. First, do corporate social responsibility (CSR) and accompanying voluntary initiatives have the capacity to change the day-to-day behaviour of TNCs? Second, at this stage of its development, and in the context of crisis, is corporate social responsibility relevant to Indonesia?
The discussion proceeds in four main sections. The first refers to historic and cultural factors, which inhibit significant changes in corporate social and environmental performance. The second section examines codes of conduct and how they are viewed in Indonesia. The third section refers to the environmental impact of large business, with particular reference to the mining and palm oil industries. The conclusion sums up the main points of the paper and reflects on the relevance of corporate social and responsibility for Indonesia.
The discussion on codes of conduct presents both civil society and TNC perspectives on the implementation, achievements and limitations of such initiatives. According to the author’s assessment, codes are fundamentally flawed for several reasons: they may serve to place corporations outside of the national regulatory system and bypass the tripartite negotiation system that was one of the major labour reforms of recent years; the process and outcomes of monitoring are usually confidential; monitors usually only see one or two plants chosen by the client; monitoring is often done by accounting firms that have insufficient technical knowledge to deal with the often complex health and safety problems in production plants; sanctions for non-compliance are weak or non-existent; codes are usually designed in the head office, and rarely in consultation with trade unions or others; codes with lower technical specificity are often found in enterprises that are female dominated; codes only apply to a small proportion of a nation’s workers; and corporations often insist that affiliates and sub-contractors improve conditions but provide limited if any resources to support such change.
Some tentative steps have been taken by both the government and some TNCs to improve their environmental performance, but such initiatives tend to be restricted to a few companies. Some government-led voluntary initiatives related to pollution control have attempted to motivate change by naming, praising and shaming corporations. Some successes have been achieved, but consumer activism remains relatively weak, government and company resources for environmental initiatives have been stretched by economic crisis, and only a minority of participating firms have taken significant measures to improve their environmental management systems. Company participation in international certification schemes like ISO14000 remains very limited. Those corporations that appear to have adopted the language of v
corporate responsibility are generally those, such as mining companies, that have been put in the spotlight by international civil society activism.
When viewed in the context of culture, economic and political development, and turmoil in Indonesia, the author concludes that CSR remains an ideal. The current transformation is bringing instability, fear and violence. In such a context, it is hard to consider something as abstract as CSR. It is timely, however, to begin to put into place the institutions, educational foundations and management training which are needed for business and political reform, and from which CSR may be a spin-off. Any broader application of CSR needs to stem from an indigenous belief in the necessity of such an institution and not represent a mere shrug to another Western fashion. There is clearly a tension between those in the developing countries who see this as yet another imposition of Western values, no matter how attractive, and those in the developed nations who, put cynically perhaps, wish to consume with a conscience.
At this point in Indonesian history, CSR itself can only remain an image projected onto a screen—an outline with little depth. While concepts such as governance and CSR are fashionable, generating a new language and teams of experts, Indonesia’s difficulties are perhaps more basic and to do with simple national survival. Management is a new and emerging skill in Indonesia. The type of process-oriented cultural change within an organization, which CSR requires, infers high levels of skill and an active consultative process between equals—which are not in keeping with the patriarchal top-down leadership that characterizes Indonesian business and management structures in both TNCs and domestically owned firms.
While it is fair to say that CSR makes a positive contribution to the human rights of those working in TNCs, it is also fair to say that it only makes a difference to those few corporations targeted by consumers or who are already thinking ethically and responsibly. Other industries are not so well inclined. Such anomalies, and the somewhat piecemeal approach of the CSR movement, should alert global citizens to the need for a more systematic approach.
That being said, the after-shock of the Indonesian economic crisis has required a re-evaluation of both economic and investment policy, and the way business is run in Indonesia. The previous short-term thinking may have to make way for the type of longer-term pragmatic and visionary thinking required by genuine CSR and supported by Islamic business principles. A lot will depend on how deep the reform process goes. There is a danger, however, that CSR and voluntary initiatives may be a diversion from the real issues of law reform and multilevel political and social development. While CSR may benefit a small minority of Indonesia’s workers and those whose lives intersect with TNCs, the development of and adherence to a fair system of law and institutional reform would benefit all. Without such changes, CSR is likely to remain cosmetic.
Indonesia’s recent history is littered with examples of agencies advocating the latest international trend and congratulating Indonesia for illusory change. It is pertinent to ask
vi
whether CSR has anything more to offer Indonesia at this time than what could be offered by overall structural reform. While some would argue that CSR paves the way for political development, the author contends that any effective implementation of CSR requires the machinery of an effective democratic government and civil society. The reverse would have corporations leading the process rather than the other way around.
Melody Kemp specializes in occupational health and safety and has worked as an independent labour monitor. She lived in Indonesia for 10 years and is now a freelance consultant based in Australia.

Introduction

The current global discourse on corporate social responsibility (CSR) emphasizes its cultural universality and benefits (Darley and Johnson 1993; Quazi and O’Brien, 2000). In practice, there are numerous obstacles to achieving corporate responsibility, particularly in many developing countries where the institutions, standards and appeals systems, which give some life to CSR in North America and Europe, are relatively weak. This paper examines the experience of promoting CSR in Indonesia and its relevance to that economy and society. Particular attention is focused on codes of conduct and environmental stewardship.
When discussing the scope or socioeconomic impact of CSR in the Indonesian context, it is important to know a little of the history of contemporary economic culture. While transnational corporations (TNCs) have been in Indonesia for many years, CSR is a relatively new concept and practice. Having been generated in Europe and the United States as an answer to the perceived excesses of corporate power, CSR standards and initiatives are based on . . . . . . . . (baca_selengkapnya )

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PADA MASYARAKAT INDONESIA

oleh : Chairil N. Siregar

Publikasi pada : Jurnal Sosioteknologi Edisi 12 Tahun 6, Desember 2007

Abstract
The program of Corporate Social Responsibility is the social program that provides a lot of contributions in solving social problems in job opportunities, health, education, economy, and the environment. The implementation of the CSR program still faces some obstacles, namely, the program has not been socialized. Another barrier is the difference of viewpoint between the Department of Laws and Human Right and the Department of Industry. The other is that there is no clear regulation on the implementation of CSR. However, CSR program can improve the spirit of togetherness among different communities.

CSR (Program Corporate Social Reponsibility) merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-undang Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru. Undang-undang ini disyahkan dalam sidang paripurna DPR.
Dengan adanya Undang-undang ini, industri atau korporasi-korporasi wajib untuk melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan suatu beban yang memberatkan. Perlu diingat pembangunan suatu negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan industri saja, tetapi setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat. Industri dan korporasi berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangkan pula faktor lingkungan hidup. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan . . . .. . . . . (baca_selengkapnya )

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENGATURAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PADA UNDANG – UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

oleh : IKA SAFITHRI - 2008

ABSTRAK
Perkembangan komunitas dengan aktivitasnya pada masa sekarang ini semakin mengglobal, dan ini dijembatani oleh adanya arus informasi dan komunikasi yang telah mencapai keadaan tanpa batas. Pada saat banyak perusahaan menjadi semakin berkembang, maka pada saat itu pula kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan sekitarnya dapat terjadi. Karena itu muncul pula kesadaran untuk mengurangi dampak negatif ini. Banyak perusahaan swasta kini mengembangkan apa yang disebut Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility). Perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban – kewajiban ekonomis dan legal tetapi juga kewajiban – kewajiban terhadap pihak – pihak yang berkepentingan (stakeholders). Tanggung jawab sosial perusahaan meliputi tanggung jawab sosial, ekonomi dan lingkungan. Dalam penulisan tesis ini terdapat 3 (tiga) permasalahan yaitu : bagaimana konsep Corporate Social Responsibility (CSR) dalam etika bisnis dan perusahaan dan bagaimana peranan pemerintah, perusahaan dan masyarakat sebagai kemitraan tripartit dalam penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) berdasarkan Undang - undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, serta bagaimana pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Undang - undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Penelitian yang dilakukan bersifat metode normatif kualitatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan – peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif berdasarkan pada peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pengaturan Corporate Social Responsibility.
Pengaturan Corporate Social Responsibility telah diatur dalam Undang – undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana yang dikenal dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam Pasal 74 memuat unsur kewajiban bagi perseroan yang bergerak di bidang pengelolaan atau berkaitan dengan sumber daya alam, dianggarkan sebagai biaya yang dilakukan dengan memperhatikan aspek “kepatutan dan kewajaran” serta bagi pelanggarnya dikenai sanksi dan pengaturan lebih jauh akan dituangkan dalam suatu peraturan pemerintah. Hingga saat ini Peraturan Pemerintah tersebut belum diterbitkan dan masih dalam tahap perumusan. Pemerintah masih berupaya mencari titik keseimbangan yang paling sesuai agar kalangan dunia usaha tidak sampai dirugikan dan masyarakat setempat juga mendapatkan keuntungan. Implementasi CSR membutuhkan kerjasama yang disertai transparansi dan akuntabilitas dari semua pihak yaitu pemerintah, perusahaan dan masyarakat sebagai kemitraan tripartit khususnya bagi Pemerintah sebagai pembuat regulasi diharapkan mampu menjembatani kepentingan dan memberi rasa keadilan bagi pelaku bisnis dan masyarakat termasuk dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang diharapkan pengaturannya dengan bijak sehingga mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif di Indonesia.
Kata kunci : tanggung jawab sosial perusahaan, perseroan terbatas

A. Latar Belakang
Milton Friedman1, sang ekonom pemenang hadiah Nobel, bersikap pesimis atas segala upaya menjadikan perusahaan sebagai alat tujuan sosial. Tujuan korporasi, menurutnya, hanyalah menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemegang sahamnya. Jika korporasi memberikan sebagian keuntungannya bagi masyarakat dan lingkungan, maka korporasi telah menyalahi kodratnya begitu tambah Joel Bakan dalam bukunya, The Corporation, apapun cara akan dipakai korporasi untuk mencari laba setinggi-tingginya.2
Friedman menyimpulkan bahwa doktrin tanggung jawab sosial dari bisnis merusak sistem ekonomi pasar bebas. Doktrin ini juga bersifat ancaman terhadap masyarakat yang bebas dan demokratis. Kemudian Friedman menyatakan, yang dikutip dari bukunya Capitalism and Freedom, bahwa dalam masyarakat bebas : “terdapat hanya satu tanggung jawab sosial untuk bisnis, yakni memanfaatkan sumber daya alam dan melibatkan diri dalam kegiatan – kegiatan yang bertujuan meningkatkan keuntungannya, selama hal itu sebatas aturan – aturan main, artinya . . . . .. . . . . (baca_selengkapnya )

Pengaruh Corporate Social Responsibility Disclosure, Kepemilikan Manajemen, Dan Kepemilikan Institusional Terhadap Nilai Perusahaan

Oleh : Dwi Sonya Martatilova & Tita Djuitaningsih

(Publikasi pada : Proceeding Seminar Nasional Akuntansi - Bisnis (SNAB) 2012, 27 Maret 2012, ISSN : 2252-3936)


ABSTRACT
This study aimed to investigate the influence of Corporate Social Responsibility Disclosure, management ownership, and institutional ownership to firm value. CSR in this study as proxy for the Corporate Social Responsibility Index (CSRI). Management ownership and institutional ownership as proxy for the percentage of ownership share to total outstanding shares. Firm value as proxy for the value of Tobin’s Q. Collecting data using a purposive sampling method for non-financial companies listed in Indonesia Stock Exchange in 2008 until 2009. A total of 80 non-financial companies used as a sample. The method of analysis of this study used multiple regression. The results of this study indicate that the CSR variable has a positive effect on firm value. While management ownership and institutional ownership variables has no effect on firm value.
Key Words: Firm value, Corporate Social Responsibility Disclosure, management ownership, and institutional ownership.

PENDAHULUAN
Berkembangnya environmental issue menyebabkan para investor dan masyarakat menilai perusahaan tidak hanya dari sisi laba, namun juga melalui sisi kepedulian yang dilakukan suatu perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat yang kini dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Jadi, kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (Narver, 1971; McWilliams dan Siegel, 2000). Hal ini didukung oleh pernyataan Eipstein dan Freedman (1994) dalam Permanasari (2010) bahwa keberlanjutan perusahaan (corporate sustainability) akan terjamin apabila perusahaan memerhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Survey Pricewaterhouse Coopers (PwC) terhadap 750 Chief Executive Officers menunjukkan bahwa peningkatan kepedulian untuk menerapkan CSR menempati ranking kedua dari tantangan-tantangan bisnis paling penting di Amerika Serikat pada tahun 2000 (Morimoto, Ash dan Hope, 2004).

Dalam upaya mendorong penerapan CSR bagi perusahaan di Indonesia, pada tanggal 20 Juli 2007, disahkan Undang-Undang (UU) penerapan CSR yang dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah (PP). Ketentuan itu sudah ditetapkan dalam UU Perseroan Terbatas (PT), UU Investasi dan UU Minerba (Mineral dan Batubara). Menurut Kiroyan dalam Sayekti dan Wondabio (2007), perusahaan berharap dengan menerapkan Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan akan memaksimalkan ukuran keuangan untuk jangka waktu yang panjang.
Dengan kata lain, perusahaan yang menerapkan CSR berharap akan direspons positif oleh para pelaku pasar seperti investor dan kreditur yang nantinya dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Dalam proses memaksimalkan nilai perusahaan akan muncul konflik kepentingan antara . . . .. . . . . (baca_selengkapnya )

Nilai Tambah Corporate Social Responsibility Dan Intellectual Capital: Perspektif Four Value Assessment

oleh : Mirna Amirya

(Publikasi pada : Proceeding Seminar Nasional Akuntansi - Bisnis (SNAB) 2012, 27 Maret 2012, ISSN : 2252-3936)


ABSTRACT
This paper describes the value added of corporate social responsibility (CSR) and intellectual capital (IC) viewed from the perspective of four value assessment. Four value assessment consists of economic performance, the value of reputation, parenting advantage, and spiritual values. The idea of CSR and IC stressed that the activities of the company not only economic activity, namely to create profits for business continuity, but also related to its responsibilities of social, environmental, spiritual, and intangible assets. This paper was conducted within the framework of literature study. Analysis and interpretation the value added of CSR and IC is done through the perspective of four value assessment. The results showed that based on the perspective of four value assessment, value-added of economic performance using the formula Economic Value Added (EVA) for CSR and Value Added Intellectual Capital (VAIC) for IC, the value of reputation using share prices and reputation quotient, parenting advantage using the company's strategy, and spiritual values using zakat value.
Keywords: value added, corporate social responsibility, four value assessment, intellectual capital

PENDAHULUAN
Informasi yang sering muncul saat ini adalah informasi tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) dan Intellectual Capital (IC). Wacana tersebut muncul dilandasi pemikiran bahwa CSR terkait dengan keberadaan perusahaan yang tidak terlepas dari lingkungannya. Sedangkan pemikiran IC dipandang sebagai bagian integral dari perusahaan dalam proses penciptaan nilai (value creation) dan mempertahankan keunggulan kompetitif perusahaan (Bollen et al., 2005). Pada intinya, setiap tindakan yang diambil perusahaan berdampak nyata terhadap nilai perusahaan.

Gagasan CSR dan IC menekankan bahwa kegiatan perusahaan bukan sekedar kegiatan ekonomi semata, yaitu menciptakan laba demi kelangsungan usaha, melainkan juga terkait tanggungjawabnya terhadap sosial dan lingkungan serta aset tidak berwujud perusahaan (sumber daya manusia, inovasi, pelanggan, maupun teknologi). Dasar pemikirannya adalah bahwa pemaksimalan laba tidak secara universal lagi diterima (Gray et al., 1995) serta menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidak menjamin perusahaan akan tumbuh secara berkelanjutan (Yuliana et al., 2008).

Corporate Social Responsibility digambarkan sebagai ketersediaan informasi keuangan dan non-keuangan berkaitan dengan interaksi organisasi dengan lingkungan fisik dan sosialnya, yang dapat dibuat dalam laporan tahunan perusahaan atau laporan sosial terpisah (Yuliana et al., 2008). Corporate Social Responsibility merupakan kewajiban setiap organisasi bisnis atau perusahaan untuk . . . .. . . . . (baca_selengkapnya )

The Influence Of Performance Of Corporate Social Responsibility To Corporate Social Responsibility Disclosure On Cement Industry In Indonesia

oleh : HANIFAH

(Publikasi pada : Proceeding Seminar Nasional Akuntansi - Bisnis (SNAB) 2012, 27 Maret 2012, ISSN : 2252-3936)


ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the influence of performance of Corporate Social Responsibility to Corporate Social Responsibility disclosure on cement indrustry in Indonesia 2007 – 2009, both partial and simultaneous, because cement industry has its own characteristics that are very sensitive to environmental pollution air, land and water. The method used is descriptive method by describing the variables under study and verifikatif using multiple linear regression analysis. The population in this study is cement industry throughout Indonesia between 2007 s / d 2009 totally of 7 companies. This study uses descriptive analysis and verifikatif. Descriptive analysis which describes the variables studied in detail, while verifikatif analysis will prove and test the performance and social influence of Corporate Social Responsibility to Corporate Social Responsibility disclosure by using multiple linear regression analysis. The research data used as a study and analysis of secondary data sourced from the annual report and sustainable reporting period from 2007 to 2009. Based on the results of research simultaneously, CSR Performance affect to CSR Disclosure about 56.2%, so there is another factor influencing is quite large (43.8%) of CSR Disclosure. While in the partial, PROPER and Funds Allocation are no effect on CSR disclosure, only CSR programs are influencing on CSR disclosure. These results indicate that the better CSR programs implemented by the company, the tendency of companies to do CSR Disclosure is better.
Keywords : Corporate Social Responsibility performance (PROPER, CSR programs and Funds Allocation), Responsibility disclosure

PENDAHULUAN
Latar Belakang Konsep CSR mengalami perkembangan yang cukup panjang dan berkesimanbungan dengan berbagai pemikiran yang berbeda mengenai CSR. CSR sebagai sebuah gagasan menjadikan perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines yaitu juga memperhatikan masalah sosial dan lingkungan (Daniri, 2008). Triple bottom line merupakan satu terobosan besar perkembangan CSR dikemukakan oleh john Eklington (1997) bahwa jika perusahaan ingin sustain maka perlu memperhatikan 3P yaitu tidak hanya profit yang dituju, namun juga harus memberikan kontribuspositif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet)

Di Indonesia, cara pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan dilaksanakan dengan menggunakan media yang berbeda beda. Begitu juga komponen biaya sosial yang dikeluarkan perusahaan bervariasi tergantung kepada jenis produk yang dihasilkan perusahaan masing masing. Ketidakseragaman cara pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan tersebut diakibatkan oleh belum adanya aturan yang jelas mengenai cara penyajian maupun komponen komponen yang termasuk dalam biaya sosial tersebut. Akibatnya perusahaan mempunyai cara dan kebijakan masing masing mengenai pengeluaran yang menyangkut biaya sosial.

Disinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat, dan daya dorong. CSR yang semula voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang lebih bersifat mandatory. Dengan demikian dapat diharapkan . . . .. . . . . (baca_selengkapnya )